Featured Post 4

Tulisan :

Coretan Terbaru

Kisah News

Resensi News

Tokoh News

Ketetapan-Mu

Rabu, 25 September 2013

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Ketika kita menerima ketetapan-Nya, kita sudah mampu bersyukur. Tersenyum bersama keluarga dan orang terdekat adalah karunia-Nya. Banyak di antara keluarga yang sulit untuk tersenyum bahagia ketika bersama, namun berbeda dengan kita sebagai hamba yang mampu bersyukur atas ketetapan-Nya. Masihkah pantas kita menolak ketetapan-Nya, padahal telah banyak nikmat yang telah Dia berikan? Sungguh tak ada yang mampu mengubah ketetapan-Nya kecuali kehendak-Nya.
Seringkali ujian datang disaat kita dekat dan jauh dari-Nya, namun Allah Subhanahu wa ta’ala lebih tahu sejauh mana kita jauh dan dekat pada-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala menguji kita, agar kita tahu apakah kita masih beriman pada-Nya atau sebaiknya? Namun Allah Subhanahu wa ta’ala tak memerlukan hasil pengujian itu, karena Allah Subhanahu wa ta’ala Maha mengetahui apa yang ada dalam diri kita sebelum kita mengetahuinya.


Wallahu ‘alam bish-shawab

Engkau Pergi Tanpa Pamitan

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Hari ini aku berusaha menuliskan kisah kita berdua. Aku masih ingat pertama kali kita bertemu. Engkau bersembunyi malu di antara teman-temanmu karena ada seorang pemuda yang belum engkau kenal menghampirimu. Aku pun tak tahu mengapa berani menghampirimu padahal kita berdua belum saling kenal. Mungkin aku menganggap engkau berbeda jauh dari teman-temanmu, tapi sampai saat ini aku pun tak mengerti mengapa memilihmu?
Singkat cerita, aku memberanikan diri untuk mengatakan kepada orang yang berhak atasmu, bahwa aku tertarik padamu dan ingin menghalalkan dirimu untukku. Dan akhirnya akad pun dilaksanakan sehingga engkau sah seutuhnya menjadi milikku.
Setiap waktu engkaulah yang menemaniku di saat bepergian. Engkaulah yang melindungiku dari dinginnya udara malam dan panasnya udara siang. Kita seringkali beraksi bersama dalam perjalanan panjang hidupku. Berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, namun engkau tidak pernah mengeluh dan tetap menemaniku selalu.
Hati ini terasa tak percaya ketika engkau tiba-tiba menghilang dan aku tak mampu menemukanmu lagi. Di dalam hati aku berbicara, “Mengapa engkau tinggalkan aku begitu saja?” Namun apa daya, engkau meninggalkanku tanpa sepatah kata pun terucap.
Waktu terus berputar, namun aku terus memikirkanmu dan menunggu agar engkau ada sambil otakku berpikir dan berusaha mengingat di mana keberadaan dirimu terakhir kalinya? Dan akhirnya aku menemukan jawabannya, bahwa sebenarnya akulah yang bersalah padamu, karena akulah yang meninggalkanmu.
Aku berharap engkau akan bahagia bersama yang lain. Aku akan mengingat pengabdianmu padaku selalu.

Mohon maaf karena telah meninggalkanmu.

Manusia Setinggi Lutut

Bismillaahirrahmanirrahiim
Manusia setinggi lutut. Begitulah orang-orang memanggilnya. Karena pada kenyataannya, ia memang hanya seperti itu. Ia memiliki anggota badan yang normal. Hidung satu dan punya lubang dua dan menghadap ke bawah tentunya. Tapi ada satu hal yang membuat tidak puas. Tingginya hanya SETINGGI LUTUT MANUSIA DEWASA. Alangkah tidak PD nya ia ketika berdampingan dengan teman-temannya. Padahal, ia ingin banget jadi pramugara, kiper sepakbola, atau presiden Indonesia. Maka dengan hati yang tidak puas ia berjalan-jalan mencari pencerahan. Ia membayangkan seandainya ia punya badan kekar, tinggi mekar bisa terbang...
Hingga tibalah ia di sebuah padang rumput. Ia lihat sekawanan kerbau sedang asyik merumput. Ia lihat badan mereka besar, dan kekar. “Wah iya!” Ia pun segera bertanya kepada PAK KERBAU, “mengapa kau bisa besar dan kekar?” Pak kerbau pun menjawab, “Aku tak tahu secara pasti. Yang jelas, setiap hari aku selalu makan rumput banyak-banyak”..Yes, terima kasih atas “ramuan ajaib” yang diberikan (dalam hati Manusia Setinggi lutut berbicara dengan semangat).
Segera ia mengumpulkan rumput-rumput yang paling segar. Dengan penuh semangat, ia pulang membawa segepok rumput dan harapan: menjadi kuat dan BESAR!
Beberapa hari kemudian, setelah ia rutin makan rumput segar 3 kali sehari.. tubuhnya tetap sama. Tingginya tak jauh beda. Hanya saja... perutnya melilit luar biasa..! ternyata, “ramuan ajaib” Pak Kerbau sama sekali tak cocok untuknya!
Dia pun kembali berkeliling mencari jawaban. Bagaimana bikin badan jadi tinggi semampai?
Di rimbunan pohon yang meninggi. Ia melihat kawanan Jerapah sedang asyik meliukan leher sambil makan dedaunan di atas sana. Olala! Segera ia mendekatkan diri. Lalu menanyakan rahasia agar bisa menjulang tinggi.
Omm,omm Jerapah (panggilnya), “Kenapa badannya bisa tinggi?”, jawab Omm Jerapah, “Apa ya? Dari lahir hingga sekarang, aku terus berkembang menjadi tinggi. Makananku, dedaunan pohon seperti ini. “begitu ujar Omm Jerapah. Wah, bisa dicoba! Tak tunggu lama, ia mencoba “resep” baru yang ditemukan. Hasilnya?
Seminggu kemudian, setelah tiap hari ia menahan pahitnya rasa dedaunan yang ditelan, akhirnya keinginannya belum terpenuhi. Badannya tetap mungil, kecil. Ternyata masih nihil!
Meski belum sukses, ia tak patah asa. Tekadnya tetap membara! Ia terus mencari “ramuan ajaib” yang tepat untuknya. Ia coba cara Kuda Nil mandi lumur tengah hari, cara kelinci sedia wortel sebelum lapar, cara elang yang malah bikin kakinya kesleo, (karena berusaha loncat dari ketinggian). Setelah lama mencoba, mencoba, dan mencoba. Mulailah semangatnya mengendor.
Dan di sanalah ia terduduk sendirian di bawah pohon yang rindang, meratapi nasibnya yang memprihatinkan..Kacian dech luh..(hahaha: tawa penulis)
Saat ia masih tenggelam dalam kesedihan yang mendalam, teringatlah ia keberadaan Kakek bijaksana. Kakek itu dianggap oleh para makhluk yang hidup di situ sebagai seseorang yang sangat arif dan sering dimintai pendapat bila para penghuni daerah itu menghadapi persoalan-persoalan yang pelik.
Sampailah ia ke tempat sang kakek bijaksana. Ia pun mengutarakan kegalauan di dalam hatinya (wawa..wiwiwiwi.wuwuwuw..wowoowo..weewewewe) Setelah mendengar semua penuturannya. Kakek bijaksana tersenyum lembut. Lalu kakek itu berkata, “Cucuku, setiap makhluk punya keunikannya sediri-sendiri. Mereka punya kelebihan, juga kekurangan masing-masing. Sang kakek berhenti, menarik nafas sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “nanti, carilah pohon tertinggi yang ada di daerah sini. Naiklah ke puncak pohon itu. Cucuku, engkau akan melihat pemandangan indah yang tidak semua makhluk bisa menyaksikannya.” Sang kakek diam lagi. Matanya sejuk menatap Manusia Setengah Lutut yang mendengarkan nasehat dengan takzimnya. “syukurilah setiap anugerah Allah untukmu, maka engkau akan menemukan berbagai keajaiban yang Allah titipkan padamu.”



A Man Who was Supermen

Resensi Film:
Bismillahirrahmanirrahim
Song Soo-jung adalah seorang produser yang sedang menjalani tahun ketiganya di sebuah perusahaan kecil. Keahliannya adalah membuat film tentang cerita orang-orang yang unik. Dia membuat film-film tersebut dengan harapan suatu hari bisa menjadi salah satu rakyat Korea yang berhasil meraih penghargaan Oprah Winfrey. Namun sepertinya dia sedang berada di akhir harapan dari harapannya itu. Setelah berbulan-bulan dia tidak mendapatkan bayaran, dia pergi dari kantor dengan membawa kamera untuk membuat cerita tentang singa yang sedang makan daging di Afrika sana. Di tengah perjalanannya, tepatnya ketika dia tertidur di stasiun kameranya dicuri. Melihat si pencuri, Song Soo-jung mengejarnya dan saat menyebrang jalan dan dia hampir tertabrak truk kontainer apabila tidak diselamatkan oleh lelaki berpakaian kemeja Hawai yang mengaku dirinya sebagai “Superman”.
Si Superman mengaku bahwa dia telah kehilangan kekuatan supernya karena si Botak telah menanamkan pecahan batu kryptonite di bagian belakang kepalanya yang membuatnya menjadi seorang manusia biasa tanpa kekuatan super. Tetapi kehilangan kekuatan bukan berarti membuatnya tidak aktif untuk ikut berperan menjaga bumi dari serangan global warming dan selalu menolong orang. Soo-jung bisa melihat ini akan menjadi sebuah cerita yang menarik dengan sedikit sentuhan dan arahan, akhirnya dia membuat film berjudul “Superman menyelamatkan bumi” yang dia prediksi akan menjadi film dokumenter dengan rating yang tinggi.
Tetapi di akhir pembuatan film, Superman mengalami serangan kejang-kejang seperti biasanya, tetapi kali ini mengharuskannya dibawa ke rumah sakit karena stock obatnya habis. Setelah kepalanya di rontgen, terlihat penyebab Superman selalu kejang-kejang, di kepalanya bersarang sebuah peluru.
Akhirnya, cerita sesungguhnya mengapa Superman (nama aslinya Lee Hyuk-Suk) bisa menjadi ‘abnormal’ seperti ini mulai terkuak. Dua tragedi besar yang membuat Hyun-Suk trauma dan membuat dia percaya bahwa dia Superman sesungguhnya. Ketika Lee kecil, dia melihat film Superman bersama ayahnya, seorang yang berkata jika Lee menghitung sampai 100, dia akan menjadi seorang Superman. Kemudian ayahnya meninggal dalam sebuah tragedi tembak menembak, dan Lee pun ikut tertembak di bagian belakang kepalanya. Ajaibnya, Lee tetap hidup bersama peluru bersarang di kepalanya.
Beberapa tahun berselang, istri dan anak perempuannya meninggal pada tragedi kecelakaan mobil. Istrinya langsung meninggal, namun putrinya masih bertahan. Di tangah kobaran api, Lee berkata kepada putrinya untuk berhitung sampai 100, Lee akan berubah menjadi Superman untuk menyelamatkannya. Sayangnya, saat dia berlari menuju mobil dengan alat pemadam api, namun peluru yang bersarang lama di kepalanya membuatnya kejang-kejang dan terkapar di jalan. Kesakitan terkapar di jalan dan mobilnya meledak bersama putri serta istrinya. Tidak adak satupun dari warga sekitar yang menolong Lee dan putrinya.
Momen itu yang kemudian membuat trauma mentalnya sehingga Lee percaya dia adalah Superman. Lee mengisi hidupnya dengan kepercayaan bahwa dialah Superman. Soo-jung mengikuti usaha Lee untuk menolong orang-orang dengan mengenakan pakaian anehnya. Dengan “usaha super”nya Lee berharap orang-orang bisa mengikuti contoh perbuatannya yang ternyata selama ini tidak ada yang mengikutinya, mereka justru berpikir bahwa Lee aneh dan gila. Tetapi semua berubah dan harapan Lee terwujud setelah dia hampir kehilangan harapan menolong polisi yang terjepit mobil tiba-tiba semua orang di sekitarnya bersama-sama mebantu Lee.
Namun, ketika Lee berusaha menolong anak dari gedung yang terbakar, memaksa Lee untuk pergi sendiri. Di tengah kepungan api yang menjilat-jilat Lee tidak bisa menemukan jalan keluar, sehingga dia memutuskan untuk meloncat melalui jendela dengan seorang bocah di pelukannya, naas Lee mendarat dengan kepalanya terlebih dahulu. Dari situ Lee terbang kembali ke masa lalunya untuk menyelamatkan masa kecilnya dari peluru yang telah menembak kepalanya. Dia pun kembali dengan menyelamatkan seorang bocah. Di rumah sakit, dada Lee menjadi memiliki tanda “S” (layaknya supermen di kaosnya). Setelah kematian Lee, dia masih tetap menjadi “Supermen” dengan mendonorkan semua organ tubuhnya, seperti; jantung, hati, ginjal, dan lain-lain. Dengan sikap Lee mendonorkan itulah, Soo-jung pun terinspirasi untuk selalu berusaha menolong setiap orang sesuai kemampuannya.
Dari kenangannya Soo-jung teringat kata-kata Lee Hyun-Suk ketika mereka pertama kali bertemu "Kekuatan tidak bisa membuka pintu besi yang besar, namun cukup kunci yang kecil bisa."

Wallahu a’lam bish shawab

HAJI Abdul Malik Karim Amrullah = Buya Hamka

HAJI Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini. Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak manapun,”demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?”
Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam. Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka.”
Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni, dan budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia). Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.
Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut.
Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku..” Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan.
Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu...”
Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.
Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!”
Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya,” begitu kata Buya Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh kemudian mengatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.
Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, pak Yamin dalam keadaan sekarat, ”terangnya. Selain itu, kata sang menteri, “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.
Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melambaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikkan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.” Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.
Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya di samping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan terakhirnya.
Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” demikian ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.
Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.
Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.
Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara...
Buya Hamka juga menghasilkan beberapa karya, di antaranya novel yang menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Berikut judul-judul buku yang ditulis beliau, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Dibawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tafsir Al-Azhar yang berjilid-jilid, serta masih banyak karya lainnya.
Oleh: Artawijaya

Nasihat News

perbaikan
 

© Copyright Berpetualang 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.